Temukan Artikel Dan Pengertian Berbagai Bidang Ilmu Di Website Ini.

Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Friday, 5 February 2016

Pengertian Zakat Menurut Para Ahli

Apa Itu Zakat? | Menurut Bahasa (lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10) 
 
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy).

Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah. 
 
 
 
Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah a. Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
b. Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
c. Haq (QS. Al An'am : 141)
d. Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
e. Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)
 
Hukum Zakat Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.

Macam-macam Zakat

a. Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
b. Zakat Maal (harta).
 
Syarat-syarat Wajib Zakat a. Muslim
b. Aqil
c. Baligh d. Memiliki harta yang mencapai nishab
 
 
Sekian pengertian zakat, semoga artikel ini dapat bermanfaat..
Baca juga:

Pengertian Riba Menurut Para Ahli


Apa Itu Riba? |Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.
Ada beberapa  penjelasan tentang riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.

Riba menurut para ahli fiqih dari beberapa madzhab
Golongan Hanafiah memberikan ta’rif bahwa riba adalah kelebihan atau tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’i yang disyaratkan kepada salah satu dari dua orang yang bertransaksi dalam tukar menukar (Ibnu Abidin 4/176 dan apa-apa yang sesudahnya, dan ta’rif ini juga bagi al-Tamrutasy dalam Tanwir al-Abshar dan dalam al-Ikhtiyar 2/30), dikatakan juga bahwa riba di dalam syara’ adalah pengertian dari suatu akad yang rusak dengan sifat sama saja di dalamnya ada tambahan atau tidak ada tambahan.
Karena menjual beberapa dirham dengan beberapa dinar secara utang walaupun tidak ada tambahan, hukumnya riba. 
Penjelasan: A pinjam dari B Rp 1.000.000, B meminjamkan dengan pengembalian Rp 1.200.000. Rp 1.000.000 dari B kepada A sebagai pinjaman dan Rp 1.000.000 dari A kepada B sebagai pengembalian, berarti ada gantinya yang senilai. Tetapi tambahan pengembalian dari A sebesar Rp 200.000 kepada B, tidak ada gantinya dari B kepada A senilai uang tersebut (kosong dari ganti). 
Transaksi ini riba dan haram.
Golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa riba adalah transaksi atas dasar adanya imbalan tertentu yang tidak diketahui persamaannya dalam standar syara’ pada saat bertransaksi atau bersamaan dengan mengakhirkan dua gantinya atau salah satu gantinya (Mughni al-Muhtaj 2/21).

Contoh: menukar padi di sawah dengan padi yang sudah kering 1 ton, dengan perhitungan kira-kira kurs-nya itu ada penurunan 20 persen. Tetapi persamaannya tidak diketahui dengan pasti. Hukumnya adalah riba. 
Golongan al-Hanabilah memberikan ta’rif bahwa riba adalah adanya kelebihan/tambahan dalam segala sesuatu dan penggemukan dalam segala sesuatu, dikhususkan dengan segala sesuatu yang syara’ datang mengharamkannya yakni mengharamkan riba di dalamnya secara nash untuk sebagiannya dan mengharamkannya secara kias untuk sebagian lainnya (Kasysyafu al-Qina’ 3/251, Mathalibu uli al-nuha 3/157).

Golongan al-Malikiyah memberikan ta’rif tiap-tiap macam riba secara sendiri-sendiri (Kifayatu al-Thalib al-Rabany 2/99 dan lainnya).

Ada beberapa lafadz yang berhubungan dengan riba. 
1. Al-bai’
Al-bai’ secara bahasa adalah masdar dari baa'a arti asalnya: pertukaran harta dengan harta dan umum digunakan dalam arti “transaksi” secara majaz, karena al-bai’ menjadi sebab kepemilikan. Al-baai’ umum digunakan juga atas tiap-tiap satu dari dua orang yang bertransaksi (al-baai’ bisa diartikan penjual dan bisa diartikan pembeli pen.). Tetapi kata-kata al-baai’ ketika disebut secara bebas yang paling cepat bisa diterima oleh pikiran artinya ialah “orang yang memberikan barang” dan al-bai’ jika disebut secara bebas bisa diartikan “barang dagangan” dan bisa dikatakan: ini dagangan yang bagus (al-Mishbahu
al-Munir hal. 69). 
Menurut istilah, al-Qolyuby memberikan ta’rif al-bai’ adalah transaksi tukar menukar harta yang memberi faedah kepemilikan suatu benda/barang atau manfaat untuk selamanya bukan karena adanya tujuan taqarrub (Hasyiah Qolyuby 2/152 dan al-Mausu’ah 22/50). Pada dasarnya jual beli hukumnya halal dan riba hukumnya haram.

2. Al-‘araaya
Al-‘ariyah secara bahasa adalah pohon kurma yang oleh pemiliknya diberikan kepada orang lain agar memakan buahnya yang masih segar, atau pohon kurma yang dimakan buahnya yang masih ada di atas pohon. Jama’nya al- ‘araaya dikatakan juga makna al-‘ariyah adalah memakan buah kurma yang masih segar (al-Mishbah al-Munir dan kamus al-Muhit).

Adapun golongan al-Syafi’iyah memberikan ta’rif bahwa al-‘ariyah adalah menjual kurma basah di atas pohon dibayar dengan kurma kering di atas bumi atau menjual anggur basah di atas pohon dibayar dengan anggur kering di atas bumi yang jumlahnya kurang dari lima wasak (1 wasak = 60 sho’, 1 sho’ = 2,7 kg pen.), sesuai dengan taksiran persamaannya (Syarhu al-minhaj lil Mahally 2/238, al-Mausu’ah 9/91).
Di dalam bai’ araya ada unsur riba dan syubhat yang ada dalam al-muzabanah tetapi jual beli araya itu diperbolehkan secara nash, di antaranya:
 
Dari Sahal bin Abi Hatsmah dia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli kurma dibayar dengan kurma, dan beliau memberi kemurahan dalam urusan ariyah dijual dengan taksirannya, keluarganya memakan kurma basah dari ariyah (H.R. al-Buhari, al-Fathu 4/387 cet. Al-salafiyah, dan Muslim 3/1170 cet. 
al-Halaby, dan lafadz kedua bagi Muslim). Di dalam lafadz lain: dari jual beli buah dengan kurma dan dia berkata: riba yang demikian itu al-muzabanah hanya saja bolehnya jual beli ariyah itu sah berdasarkan nash yaitu satu pohon dua pohon yang diambil oleh ahli rumah diganti dengan kurma kering, mereka memakan kurma basah (dari jual beli aariyah) sesuai taksirannya (Nail al- Author 5/226).

Sekian pengertian riba, semoga artikel ini dapat bermanfaat..
Baca juga:

Friday, 29 January 2016

Pengertian Hadist

Pengertian HaditsHadits adalah;
Apa saja yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju) dsb.

Dalam definisi di atas hadits mencakup empat hal, yaitu; Perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat-sifat atau keadaan Nabi saw. Hadits dikenal juga dengan istilah-istilah lain, seperti; al Khabar, al Atsar dan as Sunnah.
 
Kedudukan Hadits dalam IslamAl Sunnah atau al Hadits memiliki dua fungsi, yaitu sebagai;

a. Mubayyin.
Yaitu sebagai penjelas hal-hal yang disebutkan secara global dan umum dalam al Qur’an. Seperti; penjelasan tentang tatacara shalat, puasa, haji dsb. dan mengecualikan hal-hal yang umum dalam al Qur’an, seperti; Ahli Warits yang berhak menerima warits. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an:
..Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab, agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. QS an Nahl:
44.
 
b. Sumber Hukum tersendiri
As Sunnah sebagai sumber hukum tersendiri dalam hal-hal yang tidak dibahas dalam al Qur’an baik secara global maupun terperinci, seperti; hukum haramnya menikahi dengan polygami ponakan dan bibinya, haramnya binatang yang bertaring, bercakar dsb.
berdasarkan:
a. Al Qur’an:
Sebagaimana firman Allah SWT:
ْHai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS an Nisa; 59

Dan firmanNya:
.. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya. QS al Hasyr: 7
 
b. Al Hadits:
Sebagaiman sabda Rasulullah SAW:
Ingatlah sesungguhnya aku diberi al Kitab dan (wahyu) sebangsanya bersamanya. Akan datang (suatu masa) ada seorang laki-laki yang kekenyangan diatas sofanya memberi fatwa kepada kalian dengan al Qur’an ini (semata). Maka apa saja yang kalian dapatkan dalam al Qur’an dari yang halal maka halakanlah, dan apa yang kalian temukan di dalamnya dari yang haram maka haramkanlah. Ingatlah tidak halal buat kalian keledai piaraan dan setiap yang bertaring dari binatang buas dan barang yang tercecer milik seorang kafir mu’ahad kecuali jika dia merelakannya..HR Abu Daud dari Abdurrahman bin Auf.

Demikian juga taqrir Rasulullah saw terhadap Muadz ibn Jabal ketika beliau bertanya; jika ternyata tidak ada (yang bisa kamu rujuk) dalam al Qur’an? Dia menjawab: Aku akan merujuk kepada as Sunnah..


Demikianlah pembahasan mengenai pengertian hadist, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua..

Baca juga:

Thursday, 28 January 2016

Pengertian Madrasah Menurut Para Ahli

Pengertian Madrasah Menurut Para Ahli
Istilah madrasah telah dikenal oleh masyarakat muslim sejak masa kejayaan Islam klasik. Dilihat dari segi bahasa, madrasah merupakan isim makãn (nama tempat) berasal dari kata darasa yang berarti tempat orang belajar (Munawir, 1997: 397). Dengan demikian madrasah dipahami sebagai tempat atau lembaga pendidikan Islam.
 
Dalam kamus besar bahasa Indonesia madrasah adalah sekolah atau perguruan yang biasanya berdasarkan agama Islam (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994: 611). Madrasah di Indonesia merupakan istilah bagi sekolah agama Islam terutama sekolah dasar dan menengah, sedangkan di negara-negara Timur Tengah madrasah merupakan sekolah secara umum atau lembaga pendidikan pada umumnya terutama pendidikan tinggi (Poerbakawatja, 1982: 199).
 
Madrasah juga dinilai berasal dari istilah al-Madãris, suatu istilah yang digunakan oleh para Fuqãha (Ulama ahli Fiqih), sehingga pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, madrasah dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan bercorak fiqh dan Hadits (Maksum, 1999: 52).
 
Di Indonesia, peraturan Menteri Agama RI No. 1/1946 dan No.7/1950 memformulasikan madrasah sebagai berikut:
  1. Tempat pendidikan yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaran. 
  2. Pondok pesantren yang memberikan pendidikan setingkat dengan madrasah (sekolah) (Tim Dirjen Bimbagais Depag, 2003: 22).
Sedangkan menurut SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri 1975, Madrasah diartikan sebagai; Lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum.
 
Akhirnya, dalam realitas di lapangan dapat kita jumpai tiga bentuk madrasah yang bermula dari uraian di atas: Madrasah Diniyah disingkat Madin, Madrasah SKB tiga Menteri dan Madrasah Pondok Pesantren (Tim Dirjen Bimbagais Depag, 2003: 22).
 
Kemudian dalam UU No. 2 tahun 1989 atau Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kedudukan madrasah posisinya sama dengan sekolah. Hal itu dapat dilihat dalam peraturan perundangan yang membahas mengenai madrasah yang diterbitkan sebagai pelengkap UU tersebut. Di antaranya adalah: PP No. 28 tahun 1990 jo SK Mendikbud No. 0487/U/1992 dan SK No. 054/U/1993 dalam perundangn tersebut disebutkan bahwa MI sama dengan SD dan MTs sama dengan SLTP yang bercirikhas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. MI dan MTs wajib memberi bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD dan SLTP selain ciri Khas agama Islam.
 
Sedangkan dalam SK Mendikbud No. 0489/U/1992 disebutkan bahwa MA sama dengan SMU bercirikhas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (Syukur, 2004: 9).
Lebih lanjut dalam UU SISDIKNAS atau UU NO. 20 tahun 2003, di sana sama sekali tidak membedakan antara madrasah dan sekolah, dengan kata lain madrasah adalah sekolah tanpa ada embel-embel berciri khas agama Islam.
 
Dari penjelasan di atas, kata madrasah mempunyai kata yang sama, yaitu tempat belajar. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah yang pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.
 


Baca juga:

Pengertian Pondok Pesantren Menurut Para Ahli

Pengertian Pondok Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik (Zarkasy, 1998: 106).

Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid (1997 : 19-20) mengupas asal usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (istilah pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.

Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu (Zarkasy, 1998: 105-106).
 
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
 
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
  1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. 
  2. Nasir (2005: 80) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. 
  3. Team Penulis Departemen Agama (2003: 3) dalam buku Pola Pembelajaran Pesantren mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah pendidikan dan pengajaran Islam di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kiai dan ustdaz sebagai guru dan para santri sebagai murid dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengkaji dan membahas buku-buku teks keagamaan karya ulama masa lalu. Dengan demikian, unsur terpenting bagi pesantren adalah adanya kiai, para santri, masjid, tempat tinggal (pondok) serta buku-buku (kitab kuning). 
  4. Rabithah Ma‟ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlu al-sunnah wa al- Jamã’ah ‘alã T}arîqah al-Maz|ãhib al-‘Arba’ah. 
  5. Mastuhu (1994: 6) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah lembaga tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-dîn) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. 
  6. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sedangkan pesantren tradisional merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya (Asrohah, 1999 : 59).

Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
 
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.

 

Baca juga: